Blora – Hidup dengan ekonomi stabil dan mengenyam pendidikan di Korea Selatan telah dirasakan Adi Latif Mashudi. Seorang pemuda 27 tahun asal Desa Ngiyono, Kecamatan Japah, Kabupaten Blora yang pulang ke tanah kelahirannya demi mengembangkan pertanian dan meningkatkan perekonomian di desa nya setelah 5 tahun lebih menjadi TKI sekaligus Mahasiswa di Negeri Ginseng.
Awalnya Adi merupakan lulusan SMK Pelita Harapan yang dekat rumahnya. Lalu, ia mencoba daftar LPK bahasa korea.
“Saat itu ada program pendidikan bahasa Korea gratis dan awalnya saya tidak ada niatan untuk ke Korea. Hanya mengisi waktu senggang karena masih ada waktu untuk belajar mengikuti kursus tersebut,’’ tutur Adi, di Agrowisata Petik Buah Girli Smart Ecosystem Farming miliknya, Sabtu (11/5/2024).
Setelah hampir sebulan kursus, ia mencoba merancang hidupnya. Lalu, ia tertarik untuk kuliah. Namun, dengan keterbatasan dana karena faktor ekonomi keluarga, Adi mencoba program beasiswa dan diterima.
“Sayangnya orang tua gak ngizinin. Soalnya takut ada biaya lainnya,’’ jelasnya.
Setelah mengubur impiannya untuk mendapatkan gelar sarjana, dirinya mencoba peruntungan menjadi TKI di Korea Selatan. Pada 2015 lalu, ia melanjutkan kursus bahasa korea. Setelah lulus selama setahun kursus, nasib tak baik masih mengikutinya yaitu penundaan pemberangkatan kerja.
“Selama masa penundaan itu, saya mendapatkan kepercayaan dari lembaga kursus tersebut untuk mengelola asrama, koperasi, jadi tukang panen ayam, hingga diangkat jadi staf kantor,’’ ucapnya.
Hingga saat itu, dirinya mendapatkan rezeki yang tak terduga yaitu pemberangkatan kerja ke korea tanpa dipungut biaya.
“Itu dulu harusnya bayar Rp 35 juta sampai Rp 40 juta. Saya sudah nabung itu, ternyata digratiskan. Alhamdulillah, akhirnya berangkat ke korea,’’ jelasnya.
Sesampainya disana ia melamar kerja di lima perusahaan. Sayangnya ia tak diterima. Lalu, ia mencoba lagi dan diterima di salah satu pabrik material pembuat suku cadang alat elektronik LG di Korea.
“Waktu kerja di pabrik itu gajinya Rp 30 juta. Hidup disana sebenarnya sudah cukup. Kuliah juga sudah beres. Sampai-sampai bisa keturutan naik haji 2023 kemarin, sebelum umur 30 tahun,’’ ucapnya.
Ia juga aktif di organisasi masyarakat islam setempat. Tak hanya itu, saat kuliah ia juga aktif menjabat di BEM dan lain sebagainya.
“Waktu di korea juga aktif nguripi masjid. Saya sebagai ta’mir masjid disana,’’ ucapnya.
Setelah lima tahun lebih berkutat di korea, Lulusan sarjana Manajemen di Universitas Terbuka yang bekerja sama dengan Yeungnam University itu akui tertarik merintis pertanian di desa nya karena percaya kebangkitan ekonomi Indonesia berawal dari bawah atau desa.
“Jujur waktu itu takut untuk balik kampung. Takut gak bisa kerja lagi ataupun penghasilan minim. Namun, saat pergi haji itu tiba-tiba saya kepikiran dan terarahkan untuk pulang ke Blora untuk kembangkan pertanian dan perekonomian di desa saya. Akhirnya Juli 2023 lalu saya dirikan agrowisata ini,’’ imbuhnya.
Ia akui, saat mendirikan agrowisata tersebut, dirinya merogoh kocek hingga Rp 700 juta lebih. Uang tersebut sama sekali bukan pinjaman. Melainkan hasil jerih payahnya saat kerja di Korea.
“Saya sudah nyelengi modal sejak dulu. Akhirnya saya dirikan ini. Biaya greenhouse dan lainnya,m lebih dari Rp 700 juta,’’ terangnya.
Kini ia berhasil mendirikan 2 titik greenhouse. Dengan 2 greenhouse tersebut dirinya memulai mengembangkan agrowisatanya yang ia nama ‘Agro Wisata Girli Farm’ sebagai petani melon hidroponik. Semua ilmu hidponik pun ia pelajari secara otididak sambil berkonsultasi dengan dua rekan mantan kerjanya di Korea yang berkarier sebagai petani. Ia akui, keputusannya menjadi seorang petani hidroponik itu semakin membuat dirinya maju.
Saat ditanyain mengapa harus melon, ia menjawab, perawatannya terbilang tidak terlalu rumit dan bisa dipanen setiap 2 bulan.
“Saat ini, sudah ada tiga jenis melon yang dikembangkan. Pertama New Kinanti, lalu Camoe dari Korea, lalu ada Kirani, dan Intanun dari Turki yang paling diminati,’’ jelasnya.
Ia menyebut, setidaknya selama masa tanam, kebunnya mampu menampung 2.400 pohon melon dari seluruh greenhouse miliknya.
“Jadi masa tanamnya itu sebulan sekali. Dan panennya satu bulan hingga dua bulan sekali,’’ terangnya.
Selain melon, Adi juga mengembangkan tanaman buah-buahan lain, seperti alpukat, durian, stroberi, serta budidaya ikan lele dan nila.
“Sementara memang yang difokuskan melon dulu. Karena perawatannya susah-susah mudah,’’ jelasnya.
Walaupun belum dilirik dinas setempat, omzet pertaniannya tersebut sudah mencapai Rp 20 juta hingga Rp 35 juta dalam sekali panen. Ia juga mengatakan, bakal menarget dipasarkan di supermarket.
“Memang belum ada obrolan sama dinas. Hanya dengan pak Bupati sudah ketemu. Alhamdulillah peminatnya sudah banyak dari semua kalangan. Ini juga karena relasi saya saat jadi TKI dan saya gunakan untuk pemasaran,’’ tuturnya.
Ia berharap, dengan caranya ini bisa menjadi pemantik pertanian di desa nya. Terlebih letak desa nya jauh dari pusat kota dan akses jalan masih sangat terbatas.
“Harapannya bisa menggenjot perekonomian sekitar. Bisa memberdayakan SDM disini. Sementara masih ada beberapa warga saya ajak kerja di Girli farm. Kedepannya bisa lebih besar dan nantinya pemuda dan masyarakat disini bisa merasakan dampak postifinya dari agrowisata ini,’’ tegasnya.