Oleh: Yuli Putri Denisa /Mahasiswa Isi Surakarta
Langen Beksan 26an (Nemlikuran) bukan sekadar acara bulanan biasa di SMKN 8 Surakarta; ia adalah denyut kehidupan budaya yang terus mengalir sejak 2003. Diadakan di Joglo Suryo Hamijoyo, acara ini tumbuh menjadi wadah di mana seni tradisi hidup, berkembang, dan dipelihara dengan penuh cinta. Bagi para siswa dan komunitas sekitar, tradisi ini lebih dari sekadar panggung pertunjukan—ini adalah ruang di mana nilai-nilai kebudayaan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dalam perjalanannya yang telah mencapai 21 tahun, Langen Beksan 26an (Nemlikuran) telah menjadi saksi bagaimana seni tari terus menyatukan berbagai kalangan. Alumni SMKN 8, komunitas tari, sanggar, yayasan seni, paguyuban, hingga perguruan tinggi seni berkolaborasi untuk menjaga tradisi ini tetap hidup dan relevan. Di tengah modernisasi, acara ini menawarkan sesuatu yang lembut: menjaga keaslian budaya di tengah arus perubahan.
Pada edisi bulan September 2024 lalu yang diisi oleh Komunitas Mudro—kelompok yang menyatukan para perias dan pecinta seni dari Solo dan sekitarnya. Malam itu, mereka menampilkan tujuh tarian tradisional yang bukan hanya memukau banyak mata, tetapi juga menyampaikan kisah-kisah sarat makna, di antaranya:
- Beksan Gunung Sari
- Beksan Kiprah Ratu Sewu
- Beksan Adaninggar-Kelaswara
- Beksan Gambyong Penganten
- Beksan Priyambada-Mustakaweni
- Beksan Jaka Tarub
- Pethilan Menakjingga-Darmawulan
Namun dari tujuh tarian yang dibawakan, satu tarian yang banyak mencuri perhatian adalah Beksan Priyambada-Mustakaweni, sebuah pertarungan cinta dari kisah Mahabharata. Tarian ini menggambarkan konfrontasi antara Bambang Priyambada, putra Arjuna, dengan Dewi Mustakaweni, adik Prabu Bumiloka, Raja Imoimantaka.
Awalnya, pertempuran mereka didorong oleh permusuhan, namun cinta diam-diam tumbuh di antara keduanya, hingga akhirnya mereka bersatu. Kisah ini diambil dari episode “Pandawa Mangun Candi Saptorego” atau “Mustakaweni Maling Jamus Kalimasada.”
Pementasan ini digarap dengan sangat apik oleh Wahyu Santoso Prabowo, menghadirkan harmoni antara tari dan karawitan. Lidwina Anita Oktafiara S.Sn., yang memerankan Mustakaweni, berhasil membawakan karakter putri yang cerdas dan tangkas. Sementara Widi Antoni yang berperan sebagai Priyambada memancarkan kelembutan sekaligus ketangkasan seorang ksatria. Setiap gerakan mereka seakan menghidupkan kembali epik Mahabharata, membuat para penonton larut dalam cerita yang tersirat di balik setiap langkah dan ekspresi.
Langen Beksan 26an (Nemlikuran) tidak hanya sekadar acara; ia adalah jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara tradisi dan generasi muda. Di tengah arus perubahan zaman, acara ini menjadi pengingat bahwa budaya dan seni harus terus dilestarikan, tidak hanya sebagai kenangan, tetapi sebagai warisan yang hidup.