Penulis: Ihsan Nurudin
Program Studi Film dan Televisi, Institut Seni Indonesia Surakarta
Abstract
The Palang Pintu tradition is one of the distinctive processions in a traditional Betawi wedding, symbolizing the fusion of cultural and religious values. This article examines the challenges faced in preserving this tradition in the midst of modernization, based on interviews with community leaders and a study of relevant literature. Several factors such as globalization, lack of interest from the younger generation, and limited support from the government pose a threat to the sustainability of this tradition.
With a collaborative approach between the art community, the government, and the younger generation, it is hoped that the Palang Pintu tradition can remain relevant and maintain its existence. This article also presents an in-depth overview of the elements of the procession, the semiotic meaning contained in it, as well as concrete solutions to ensure the preservation of this valuable tradition.
Abstrak
Tradisi Palang Pintu adalah salah satu prosesi yang khas dalam pernikahan adat Betawi, melambangkan perpaduan nilai-nilai budaya dan agama. Artikel ini mengkaji berbagai tantangan yang dihadapi dalam melestarikan tradisi ini di tengah arus modernisasi, berdasarkan wawancara dengan tokoh masyarakat serta studi literatur yang relevan. Beberapa faktor seperti globalisasi, kurangnya minat dari generasi muda, dan keterbatasan dukungan dari pemerintah menjadi ancaman bagi keberlanjutan tradisi ini.
Dengan pendekatan kolaboratif antara komunitas seni, pemerintah, dan generasi muda, diharapkan tradisi Palang Pintu dapat tetap relevan dan terjaga eksistensinya. Artikel ini juga menyajikan
gambaran mendalam mengenai elemen-elemen prosesi, makna semiotik yang terkandung di dalamnya, serta solusi konkret untuk memastikan kelestarian tradisi yang berharga ini.
Pendahuluan
Tradisi Palang Pintu merupakan elemen penting dalam prosesi pernikahan adat Betawi. Prosesi ini memadukan seni bela diri, sastra lisan dalam bentuk pantun, serta nilai-nilai religius yang mendalam dalam masyarakat Betawi. Tujuan utama dari tradisi ini adalah untuk menguji kesiapan mempelai pria dalam menjadi pasangan hidup yang mampu melindungi dan membimbing keluarganya, baik di dunia maupun di akhirat. Di samping itu, tradisi ini juga berfungsi sebagai jembatan untuk mempererat hubungan antara keluarga besar dari kedua belah pihak. Namun, arus modernisasi dan globalisasi telah memberikan dampak pada kelangsungan tradisi ini, sehingga diperlukan strategi pelestarian yang tepat untuk menjaga relevansinya. Artikel ini akan membahas tantangan dan peluang yang dihadapi dalam mempertahankan tradisi Palang Pintu di era modern.
Metode
Penelitian ini menerapkan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Untuk mengumpulkan data primer, dilakukan wawancara langsung dengan Madanih, Ketua Cingkrik Goning TB Bambang Cabang Jatimekar di Kota Bekasi, yang aktif berkontribusi dalam melestarikan tradisi Palang Pintu. Selain itu, data pendukung lain diperoleh dari literatur akademik, artikel jurnal, dan dokumen budaya. Melalui metode ini, peneliti dapat menganalisis secara mendalam elemen-elemen penting dari tradisi tersebut, tantangan yang dihadapinya, serta langkah- langkah strategis yang diperlukan untuk pelestariannya.
Pembahasan
1. Makna dan Sejarah Palang Pintu
Tradisi Palang Pintu memiliki akar yang dalam, berasal dari masa penjajahan Belanda. Pada saat itu, prosesi ini hanya dilakukan oleh kalangan tertentu sebagai simbol kehormatan dan status sosial. Tradisi ini mencerminkan kekuatan fisik dan kecerdasan mempelai pria, yang diuji melalui duel silat dan bakat berpantun. Saat ini, Palang Pintu telah menjadi salah satu ciri khas budaya Betawi, mewakili identitas masyarakatnya tanpa memandang status sosial. Selain sebagai ritual penyambutan, prosesi ini juga mengandung unsur religius yang kuat, termasuk pembacaan ayat suci Al-Qur’an. Unsur ini menggambarkan kesiapan spiritual mempelai pria dalam membangun rumah tangga yang berlandaskan nilai-nilai Islam (Siregar, 2022; Jayakandi, 2023).
Sebagai salah satu bentuk silat Betawi, Cingkrik menjadi unsur kunci dalam tradisi ini. Cingkrik menonjolkan teknik yang unik, berfokus pada bantingan dan serangan cepat. Dua gaya yang terkenal hingga kini adalah Cingkrik Goning dan Cingkrik Sinan, yang masing-masing dinamai sesuai dengan tokohnya, Engkong Goning dan Engkong Sinan. Misalnya, gaya Cingkrik Goning memiliki lebih dari 80 teknik bantingan yang dapat dipelajari secara mendalam. Saat ini, gaya ini diajarkan oleh Tb. Bambang Sudradjat di Padepokan Pencak Silat Taman Mini Indonesia (Ulfa et al. , 2023).
2. Elemen Prosesi
Tradisi Palang Pintu melibatkan beberapa elemen utama yang mencerminkan perpaduan antara seni, budaya, dan agama:
- Adu Pantun: Pertukaran pantun antara perwakilan mempelai pria dan wanita menjadi sarana Pantun ini tidak hanya memberikan hiburan, tetapi juga menyampaikan pesan moral dan nasihat pernikahan.
- Beklai (Pertarungan Silat): Pertarungan ini melambangkan kemampuan mempelai pria dalam melindungi keluarganya dari ancaman Seni silat Betawi yang ditampilkan juga memperlihatkan keindahan gerak yang sarat dengan makna filosofis.
- Mengaji: Pengujian kemampuan mempelai pria dalam membaca Al-Qur’an menjadi simbol kesiapan spiritualnya untuk memimpin keluarga sebagai kepala rumah tangga yang
Elemen-elemen ini tidak hanya memperkaya prosesi secara estetika, tetapi juga menekankan nilai- nilai adat dan agama yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Betawi.
3. Nilai Filosofis Tradisi Palang Pintu
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Handayani et al. (2021), tradisi Palang Pintu mengandung sejumlah nilai filosofis yang mencakup aspek religius, moral, estetika, dan solidaritas. Berikut adalah rincian nilai-nilai tersebut:
- Nilai Religius:
Terwujud melalui pembacaan ayat suci Al-Qur’an dan shalawat, menekankan pentingnya spiritualitas dan kesiapan mempelai pria dalam membina keluarga berdasarkan ajaran agama.
- Nilai Moral:
Tercermin dalam penghormatan terhadap keluarga mempelai wanita, yang diwujudkan melalui adab selama prosesi, seperti permohonan izin yang disampaikan dalam bentuk pantun.
- Nilai Estetika:
Tradisi ini menggabungkan seni sastra pantun dengan keindahan gerakan bela diri, menciptakan prosesi yang bermakna sekaligus menarik secara visual.
- Nilai Solidaritas dan Toleransi:
Solidaritas terlihat dalam keakraban para peserta, sementara toleransi tercermin dalam pantun yang seringkali bersifat humoris, berfungsi untuk meredakan suasana tegang.
4. Tantangan di Era Modern
Seiring berjalannya waktu, tradisi Palang Pintu menghadapi beberapa tantangan yang memerlukan perhatian serius:
- Kurangnya Minat Generasi Muda: Kalangan muda Betawi cenderung kurang tertarik dengan tradisi lokal yang dianggap tidak relevan dengan gaya hidup modern, lebih memilih aktivitas yang dianggap lebih “kekinian”
- Globalisasi: Paparan budaya asing yang lebih populer melalui media sosial dan hiburan global membuat tradisi lokal, seperti Palang Pintu, semakin terpinggirkan.
- Dukungan Pemerintah yang Minim: Salah satu kendala utama dalam pelestarian seni dan budaya lokal adalah kurangnya dukungan dari pemerintah. Tanpa adanya program- program yang mendukung, komunitas seni seperti Cingkrik Goning sering kali harus berjuang sendiri untuk menjaga keberlangsungan tradisi mereka.
- Komersialisasi Budaya: Dalam beberapa situasi, tradisi Palang Pintu telah direduksi menjadi sekadar bentuk hiburan komersial, mengakibatkan hilangnya nilai-nilai penting yang melekat pada budaya tersebut.
5. Upaya Pelestarian
Untuk memastikan bahwa tradisi Palang Pintu tetap hidup, berbagai langkah telah diambil oleh komunitas seni dan masyarakat adat. Beberapa upaya kunci meliputi:
- Adaptasi Pertunjukan: Tradisi ini dihadirkan kembali dalam format yang lebih modern, seperti menambahkan elemen musik, demi menarik perhatian generasi
- Kolaborasi Seni: Membangun kemitraan dengan komunitas seni lainnya untuk memperluas jangkauan tradisi ini, baik di tingkat lokal maupun nasional.
- Digitalisasi Tradisi: Mengabadikan proses dan pertunjukan dalam bentuk video atau menggunakan platform digital, sehingga memudahkan akses bagi masyarakat luas dan memperluas jangkauan penyebaran tradisi.
6. Transformasi Digital dan Promosi Budaya
Di era modern saat ini, memperkenalkan tradisi Palang Pintu melalui media digital menjadi strategi yang efektif untuk menjangkau audiens yang lebih luas dan menarik minat generasi muda. Penelitian menunjukkan bahwa platform media sosial dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan video prosesi Palang Pintu, termasuk langkah-langkah pertunjukan bela diri dan pantun. Dengan pendekatan ini, tradisi dapat diakses secara lebih luas dan tetap relevan dalam perkembangan teknologi yang pesat.
Kesimpulan
Tradisi Palang Pintu adalah sebuah warisan budaya yang tidak hanya memancarkan nilai estetika, tetapi juga mengandung makna religius dan sosial yang mendalam. Namun, modernisasi dan globalisasi menghadirkan tantangan serius terhadap keberlangsungan tradisi ini. Untuk melestarikannya, diperlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan berbagai pihak, termasuk komunitas seni, pemerintah, dan masyarakat. Dengan inovasi yang tepat dan kolaborasi yang kuat, tradisi Palang Pintu dapat terus hidup dan tetap relevan di masa depan, menjadi sebuah warisan yang membanggakan bagi generasi yang akan datang.
Referensi
Madanih. Wawancara dengan penulis, Bekasi, 2024.
Siregar, Iskandarsyah. “Semiotics Analysis in The Betawi Traditional Wedding ‘Palang Pintu’: The Study of Semiotics Roland Barthes.” International Journal of Linguistics Studies 2, no. 1 (2022): 15-25.
Jayakandi. “Eksistensi Budaya Tradisi Buka Palang Pintu dalam Masyarakat Betawi.” Nitisara: Jurnal Ilmu Bahasa 1, no. 1 (2023): 45-49.
Ulfa, Elok Maria, et al. “Harmony Matters: Integrating The Social Communication Models of Leadership As A Key To Building Organizational Harmony” JRLA Journal of Peace Education and Islamic Studies 6, no. 1 (2023): 15-25.
Handayani, Titi. “Palang Pintu: Exploring Cultural Philosophy Value of Betawi Community.”
Advances in Social Science, Education and Humanities Research 618 (2021): 477–482.